Saturday, January 21, 2017

For you.

I don't know what I am supposed to do but I think, I should write this.

Halo.
Kamu, yang sedang membaca ini dengan bertanya-tanya.
Tunggu, bertanya-tanya? apakah malam ini kamu tidak bisa tidur?
Apakah itu disebabkan karena kita, yang tak lagi sama?

Hai.
Sudah berapa lama ya sejak kita pertama kali bertemu lagi dibulan Juli 2014 itu?
Apakah kau masih ingat warna baju yang kupakai kala itu?
Oh ya, aku tak peduli.
Yang kupahami, kita, kini, tak lagi sama.

Sebenarnya, aku butuh ruang untuk memahami ini. Aku butuh ruang untuk mengetahui apa jadinya aku setelah ini bukan lagi kita. Aku sadar, bukan kamu yanh berubah. Tapi kebutuhanku yang meningkat.
Aku, si-nggak-menyukai perubahan ini, terlalu sensitif kini.
Aku, si-nggak-pernah-cukup ini, selalu merasa kamu tidak bisa membagi waktumu.
Aku, si-pengintil ini, selalu ingin bersamamu.
Aku, si-tempramen ini, menginginkanmu untuk tidak mudah menyerah.
Tidak kah kau sadari itu?
Apakah harus pengakuan ini kuutarakan dulu baru kau bisa memahami aku?
Bukankah kepekaan itu akan timbul karena rasa sayang?
Jadi, siapa yang tidak sayang sekarang?

Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab.
Mungkin lebih baik aku yang pergi,
sebelum perubahan seperti tahun 2012 itu menghantamku lagi.


Dari aku yang memanggilmu "Mas" lagi merajuk dan bersedih hatinya.

What do you expect from being a miserly person?

Path reminds me about something that I posted in 12 January 2016, as below:

"Karena sesungguhnya apapun yang kita miliki tidak sepenuhnya milik kita. Ada beberapa bagiannya telah dimiliki orang lain. Hanya saja, Kita, sebagai perantara, hanya belum tau kapan bagian itu akan kita berikan. Itulah mengapa semakin banyak memberi, semakin bahagia rasanya. Seperti perantara yang berhasil melaksanakan tugasnya"
I didn't really knew about what I thought the day I posted it, but I knew I was happy back then.
I wasn't happy because the amount I gave, I was happy because I can
Can you imagine the feeling of miserly people when they give?

Kalian pasti punya teman, sahabat, pasangan, saudara, atau anggota keluarga yang memiliki sifat pelit. Kadang sampai kesal sendiri menyaksikan kepelitannya. Ya, memang biasanya orang terdekatlah yang mengetahui sifat pelit. Kalau orang lain hanya bisa bilang "bukannya pelit, hanya perhitungan".Dalam hatiku menjawab "Lalu apa bedanya?"

Apa sih keuntungan menjadi orang pelit? Engga ada.
Pendapatku malah bilang capek lho jadi orang pelit itu.
Mau memberi mikir dulu: takut berkurang, takut nggak kebagian, takut miskin.
Waduh, kayak nggak punya Tuhan aja.

Padahal kalau kita percaya, semakin kita memberi akan semakin banyak yang kita terima.
Bisa saja, dari kita memberi pakaian bekas ke orang lain, orang tersebut mendoakan agar rejeki kita makin lancar.
Bisa saja, dengan bertemu orang yang minta makanan lalu kita memberinya, kita jadi sehat karena tidak makan berlebihan.
Bisa saja, dengan memberikan informasi dan bertemu banyak orang, kita jadi berumur panjang karena silahturahiim.
Ya, semua itu bisa kalau kita mengimani dan mengamalkannya.




Epilog
Aku mengenal seorang anak yang memiliki ayah pelit sampai-sampai anak ini tidak berani meminta dibelikan mainan oleh ayahnya.
Saat disisi lain aku mengenal seorang anak yang suka membohongi orang tuanya agar diberikan uang jajan.
Hidup terkadang memang tidak adil, tapi kita punya Allah SWT yang maha adil.
Perbanyak bersyukur, perbanyak memberi, karena memberi adalah salah satu cara kita mensyukuri nikmat yang Allah berikan.